Aku Anak Hasil Perselingkuhan

Tak ada anehnya menurutku jika aku dibesarkan hanya oleh orang tua yang setengah hati sayang padaku. Kata Ibu, Ayah meninggal ketika aku masih dalam kandungan karena kecelakaan, makanya tak secuilpun ada foto kenanganku dengan Ayah, bahkan foto pernikahan Ibu dan Ayahku juga tak ada. “ Hilang semuanya karena kepindahan kita kebeberapa tempat, (Yyn) “, ujar Ibu lembut saat kutanya tentang foto perkawinan.

Ibu juga pernah berjanji jika suatu hari akan membawaku ke pusara Ayah di Bandung jika Ibu sempat. Sekarang aku tinggal di Jogja dibilangan .... Bagaimana mungkin aku bisa pergi ke Bandung, untuk menjenguk Mbah di Cilacap saja hanya pernah terjadi 2 kali seumur-umurku. Maklumlah Uang jajan kami pas-pasan. Ibuku kerja sebagai tenaga paruh waktu di perusahaan asuransi sedangkan aku masih sekolah untuk menamatkan Kuliahku

Aku Ingngin Tiba saat wisuda, keingin Ibu memelukku bangga, nampak bulir-bulir airmata bahagia terus menerus membasahi pipinya. Aku ingat ucapannya ketika Ibu memelukku “ , saatnya Ibu berterus terang kepadamu tentang Ayahmu”. Aku terkejut namun karena luapan kegembiraan bersama teman-teman maka kuabaikan ucapan Ibu tersebut.

Malam hari setelah semua usai, aku mendekati photo Ibu yang sedang tersenyum terpajang di dekat Meja belajar. Ibu melihatku dan tersenyum kecil. Kuingat kembali ucapan Ibu saat di jakarta. Ibu tersenyum kemudian berdiri dan mengambil air putih untuk diminumnya. Sesaat diraihnya tanganku untuk didekap didadanya, senyum terpampang diwajah tuanya. Kutatap lekat wajahnya. Ah, Ibuku masih terlihat cantik walau kerut ketuaan menerpanya.
“ , maafkan Ibu, selama ini Ibu berbohong, Ayahmu belum meninggal. Kamu adalah anak hasil perselingkuhan Ayah dengan Ibu. Ayahmu masih hidup namun sejak Ayahmu tahu Ibu mengandungmu ia pergi meninggalkan Ibu. Ia memang bukan pria bertanggung jawab, namun untuk Ibu yang penting adalah kau hidup terus dirahim Ibu hingga Ibu melahirkanmu. Kamu adalah hidup Ibu, nak “, Ungkap Ibu lugas. Aku diam tergugu tak percaya mendengar penuturan Ibu, sedetik kemudian aku berlari masuk kamar dan menangis keras-keras menyesali nasibku. Aku anak hina dina, aku anak haram pikirku. Aku marah telah dibohongi oleh Ibu selama ini. Aku benci Ibu.

Esok paginya, aku berniat minggat meninggalkan Ibu dan rumahku. Aku ingin pergi kerumah Nita sahabatku sejak kecil. Ibu hanya bisa menangis melihat keputusanku. Aku ingin pergi meninggalkan semua ini. Kubawa barang yang kuperlukan saja. Ibu menangis keras memintaku tinggal, namun aku sudah tak perduli lagi. Kudengar Ibu menangis hingga melolong. Kuabaikan.
Setiba dirumah Nita aku menangis keras hingga orang tua Nita kaget dan turut berduka dengan berita yang kubawa. Mama Nita mengelusku lembut dan membiarkanku tertidur kelelahan setelah menangis. Setelah 2 hari aku tinggal diruman Nita, mama Nita memanggilku dan mengajak berbicara. “ , betapa pedih dan sakitnya hati Ibumu saat Ayahmu pergi begitu saja meninggalkannya saat ia hamil mengandungmu. Luar biasa penderitaannya, bayangkan saja, pastilah Ibumu dicemoh semua orang, dibuang dari keluarga namun Ibumu teguh membiarkanmu tumbuh diperutnya, kemudian setelah kamu lahir dibesarkannya sendiri dengan penuh kasih sayang hingga ia mengorbankan dirinya asal kamu sekolah hingga selesai. Ibumu perempuan terkuat yang pernah kudengar, mungkin jika aku yang harus mengalami nasib seperti Ibumu, pasti aku akan menggugurkanmu. Kebohongan yang dilakukan Ibumu hanya untuk membuat dirimu percaya diri berada dilingkunganmu”. Tegas Mama Nita sambil memandang tepat dibola mataku.

Saat itu pula aku tersadar dengan kehebatan Ibuku. Aku malu dengan ulahku. Aku merasa menjadi anak durhaka. Aku langsung menangis keras lagi, namun tangisku ini adalah tangis penyesalan. Aku menyesal berlaku buruk terhadap Ibuku. Aku merasa berdosa besar. Aku harus pulang, mencium kakinya guna memohon ampunannya. Ibu maafkan aku.
Berlari kencang aku sepanjang gang rumahku dan langsung membuka pintu tanpa berucap salam, kuteriakkan nama Ibu berulang. Begitu kulihat Ibu dibelakang rumah sedang mencuci langsung saja kutubruk dan mengucap maaf berkali-kali. Kucium kaki Ibu dan memohon ampunnya. Ibu memelukku erat tak berkata apapun. Hanya memelukku.

Kejadian ini mencambukku untuk bekerja keras seusai diterima di perusahaan farmasi. Aku hanya ingin bekerja saja dengan keinginan terbesarku untuk membahagiakan Ibu. Kini setelah t aku bekerja, . Tak sekalipun aku menanyakan tentang Ayahku, begitu juga tak sekalipun Ibu menceritakan tentang Ayah. Sudahlah, masa lalu akan kukubur, jujur saja aku malu mempunyai Ayah seorang pengecut, tak bertanggung jawab. Maka kugunakan cerita Ibu bahwa Ayahku meninggal karena kecelakaan sejak aku dalam kandungan jika ada yang menayakan keberadaan Ayahku. (ps)

0 komentar: